Jumat, 11 Januari 2013

20. Pengawasan Pemerintah Masih Lemah


Pengawasan Pemerintah Masih Lemah


Mahalnya biaya rumah sakit menjadi alasan masyarakat beralih pengobatan tradisonal, namun sayangnya banyaknya tempat-tempat pengobatan ini teryata banyak yang tidak mengantongi izin dari Dinas Kesehatan (Dinskes).
NERACA
Ya, menjamurnya usaha pengobatan alternatif teryata masih banyak para pengusaha tidak mengantongi izin mendirikan pengobatan ini. Padahal izin untuk mendirikan pengobatan sangat lah penting, untuk keselamatan pasien dan kepercayaan masyarakat.
Salah satu wilayah yang masih banyak tempat pengobatan alternatif yang belom mendapatkan izin yaitu Kota Tangsel, dari total 366 lokasi praktek pengobatan yang kini beroperasi, baru 99 tempat praktek yang mengantongi izin usaha atau izin praktek dari Dinkes setempat.
Kepala Seksi Kesehatan Khusus dan Batera Dinkes Kota Tangsel, Siti Zuhro mengatakan, sesuai aturan bahwa pengelolaan pengobatan traditional seperti, salon kecantikan, panti pijat dan refleksi serta akupuntur, sedianya harus memiliki izin dari Dinkes.
“Aturan ini mengacu pada Undang-undang Kesehatan Pasal 60 ayat 1. Bahwa, setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi harus memiliki izin dari lembaga kesehatan yang berwenang,” ujarnya.
Dikatakan Siti, dalam aturan juga dijelaskan bahwa Dinkes berhak melakukan pengecekan atas jenis obat dan alat yang sedianya digunakan oleh pengelola praktek pengobatan tradisional dalam melayani pasiennya.
“Tujuan dari pengecekan ini tak lain untuk menjamin kesehatan dan keselamatan masyarakat yang nantinya menggunakan jasa pengobatan tradisional dimaksud,” katanya.
Saat ini, lanjut Siti, pihaknya sudah melayangkan surat peringatan kepada lokasi usaha pengobatan tradisional yang belum mengantongi ijin agar segera mengurus perijinannya. KArena bila tidak, pihak Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) bakal mengambil langkah penertiban.
Klinik Tong Fang, satu tempat pengobatan ala Cina yang populer di Jakarta, telah menjadi perbincangan publik beberapa pekan ini. Pembicaraan soal iklan klinik yang terkesan bombastis ini ramai di Blackberry dan obrolan di Twitter. Sementara manfaatnya, masih tandatanya besar.
Sementara itu, Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Medikolegal, Budi Sampurna, punya pendapat berbeda, belum ada peraturan yang tegas mengenai pendirian klinik pengobatan tradisional Cina. Kami tidak pernah memberikan izin, melainkan hanya meregistrasi.
Pemberian nomor registrasi hanya berguna untuk memantau kinerja klinik, hasil khasiat, dan mengetahui efek samping atau bahaya dari praktek pengobatan itu. Pada realitanya, banyak klinik pengobatan tradisional mengklaim registrasi sebagai izin mendirikan klinik, bahkan menjadikannya sebagai satu elemen iklan. Padahal untuk mendapatkan izin, harus ada uji klinis lebih dulu dari klinik itu.
Permasalahan tak cuma di soal izin operasi saja. Bagi pasien, pengobatan Cina menimbulkan problem baru: biaya. Sebut saja Tira Regina, seorang pasien di klinik Cina lain di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, juga punya pengalaman serupa. Pengobatan Cina untuknya memakan biaya besar. Untuk penyakit wasirnya, Tira ditarik bayaran sampai Rp 9-12 juta. Ia sendiri datang ke sana karena tergiur iklan di televisi dan media cetak. “Waduh, saya kira ambeien tidak semahal ini,” ujar Tira.
Perempuan 30 tahun itu dikenakan biaya belasan juta untuk menebus obat herbal. Karena uang di kantong hanya Rp 500 ribu, Tira pun ambil paket mini guna pengobatan tiga hari.
Mahalnya ongkos berobat ala Negeri Gingseng itu tak hanya dikeluhkan pasien. Ahli pengobatan tradisional Cina juga mengakuinya. Misalnya saja Cim An, ahli pengobatan tradisional Tionghoa yang sudah 32 tahun membuka praktek. Kata Cim An, seharusnya harga yang diberikan itu manusiawi karena Tuhan memberi ilmu untuk menolong orang. Bukan untuk tujuan komersial, kata Cim An.
Tapi di sini lain dia juga memahami kenapa harga obat Cina mahal. Bahan baku obat herbal, kata dia, tak mudah dicari. Beberapa bahkan hanya dapat ditemukan di pegunungan Tibet dan lainnya cuma dapat diolah pada dua musim. Misalnya, tung cung xiao cao yang berbentuk ulat tanaman di musim dingin, dan berbentuk rerumputan di musim panas. “Harga tung cung xiao cao, untuk penyakit paru-paru, sekitar Rp10 juta per 30 gram,” ujar sinse yang tidak beriklan ini.
Soal metode pengobatan Cina lainnya, Kepala Departemen Akupunktur Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo ini menyatakan hal itu belum bisa dibuktikan secara medis. Tapi dia juga meminta masyarakat tidak apriori terhadap pengobatan tradisional Cina. Karena meski susah dibuktikan secara medis, pengobatan tradisional Cina jauh lebih tertata daripada pengobatan tradisional lain. ”Kalau tidak bermanfaat, bagaimana mungkin pengobatan tradisional itu bisa bertahan hingga ribuan tahun dan terus ada dan dipakai hingga saat ini?” katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar