Pengawasan Pemerintah
Masih Lemah
Mahalnya biaya rumah sakit menjadi alasan
masyarakat beralih pengobatan tradisonal, namun sayangnya banyaknya
tempat-tempat pengobatan ini teryata banyak yang tidak mengantongi izin dari
Dinas Kesehatan (Dinskes).
NERACA
Ya, menjamurnya
usaha pengobatan alternatif teryata masih banyak para pengusaha tidak
mengantongi izin mendirikan pengobatan ini. Padahal izin untuk mendirikan
pengobatan sangat lah penting, untuk keselamatan pasien dan kepercayaan
masyarakat.
Salah satu wilayah
yang masih banyak tempat pengobatan alternatif yang belom mendapatkan izin
yaitu Kota Tangsel, dari total 366 lokasi praktek pengobatan yang kini
beroperasi, baru 99 tempat praktek yang mengantongi izin usaha atau izin
praktek dari Dinkes setempat.
Kepala Seksi
Kesehatan Khusus dan Batera Dinkes Kota Tangsel, Siti Zuhro mengatakan, sesuai
aturan bahwa pengelolaan pengobatan traditional seperti, salon kecantikan,
panti pijat dan refleksi serta akupuntur, sedianya harus memiliki izin dari
Dinkes.
“Aturan ini
mengacu pada Undang-undang Kesehatan Pasal 60 ayat 1. Bahwa, setiap orang yang
melakukan pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi
harus memiliki izin dari lembaga kesehatan yang berwenang,” ujarnya.
Dikatakan Siti,
dalam aturan juga dijelaskan bahwa Dinkes berhak melakukan pengecekan atas
jenis obat dan alat yang sedianya digunakan oleh pengelola praktek pengobatan
tradisional dalam melayani pasiennya.
“Tujuan dari
pengecekan ini tak lain untuk menjamin kesehatan dan keselamatan masyarakat
yang nantinya menggunakan jasa pengobatan tradisional dimaksud,” katanya.
Saat ini, lanjut
Siti, pihaknya sudah melayangkan surat peringatan kepada lokasi usaha
pengobatan tradisional yang belum mengantongi ijin agar segera mengurus perijinannya.
KArena bila tidak, pihak Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) bakal mengambil
langkah penertiban.
Klinik Tong Fang,
satu tempat pengobatan ala Cina yang populer di Jakarta, telah menjadi
perbincangan publik beberapa pekan ini. Pembicaraan soal iklan klinik yang
terkesan bombastis ini ramai di Blackberry dan obrolan di Twitter. Sementara
manfaatnya, masih tandatanya besar.
Sementara itu,
Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Medikolegal, Budi Sampurna, punya pendapat
berbeda, belum ada peraturan yang tegas mengenai pendirian klinik pengobatan
tradisional Cina. Kami tidak pernah memberikan izin, melainkan hanya
meregistrasi.
Pemberian nomor
registrasi hanya berguna untuk memantau kinerja klinik, hasil khasiat, dan
mengetahui efek samping atau bahaya dari praktek pengobatan itu. Pada
realitanya, banyak klinik pengobatan tradisional mengklaim registrasi sebagai
izin mendirikan klinik, bahkan menjadikannya sebagai satu elemen iklan. Padahal
untuk mendapatkan izin, harus ada uji klinis lebih dulu dari klinik itu.
Permasalahan tak
cuma di soal izin operasi saja. Bagi pasien, pengobatan Cina menimbulkan
problem baru: biaya. Sebut saja Tira Regina, seorang pasien di klinik Cina lain
di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, juga punya pengalaman serupa. Pengobatan
Cina untuknya memakan biaya besar. Untuk penyakit wasirnya, Tira ditarik
bayaran sampai Rp 9-12 juta. Ia sendiri datang ke sana karena tergiur iklan di
televisi dan media cetak. “Waduh, saya kira ambeien tidak semahal ini,” ujar
Tira.
Perempuan 30 tahun
itu dikenakan biaya belasan juta untuk menebus obat herbal. Karena uang di
kantong hanya Rp 500 ribu, Tira pun ambil paket mini guna pengobatan tiga hari.
Mahalnya ongkos
berobat ala Negeri Gingseng itu tak hanya dikeluhkan pasien. Ahli pengobatan
tradisional Cina juga mengakuinya. Misalnya saja Cim An, ahli pengobatan
tradisional Tionghoa yang sudah 32 tahun membuka praktek. Kata Cim An,
seharusnya harga yang diberikan itu manusiawi karena Tuhan memberi ilmu untuk
menolong orang. Bukan untuk tujuan komersial, kata Cim An.
Tapi di sini lain
dia juga memahami kenapa harga obat Cina mahal. Bahan baku obat herbal, kata
dia, tak mudah dicari. Beberapa bahkan hanya dapat ditemukan di pegunungan
Tibet dan lainnya cuma dapat diolah pada dua musim. Misalnya, tung cung xiao
cao yang berbentuk ulat tanaman di musim dingin, dan berbentuk rerumputan di
musim panas. “Harga tung cung xiao cao, untuk penyakit paru-paru, sekitar Rp10
juta per 30 gram,” ujar sinse yang tidak beriklan ini.
Soal metode
pengobatan Cina lainnya, Kepala Departemen Akupunktur Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo ini menyatakan hal itu belum bisa dibuktikan secara medis. Tapi
dia juga meminta masyarakat tidak apriori terhadap pengobatan tradisional Cina.
Karena meski susah dibuktikan secara medis, pengobatan tradisional Cina jauh
lebih tertata daripada pengobatan tradisional lain. ”Kalau tidak
bermanfaat, bagaimana mungkin pengobatan tradisional itu bisa bertahan hingga
ribuan tahun dan terus ada dan dipakai hingga saat ini?” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar